Hidup sama persis seperti tuts pada piano. Bahkan tuts yang hitam, bila dimainkan dengan tepat, akan menghasilkan musik

Kamis, 24 Maret 2011

Bukan Tiga, Apalagi Empat(bagian terakhir)

Bus bergetar di bawahku. Derum lembut menjadi penanda, bahwa supir akhirnya merasa bahwa kami sudah cukup lama menunggu. Kurasakan pipiku dingin karena menempel pada kaca jendela. Mataku sedikit terbuka, kulihat keluar. Gerimis sudah digantikan ayah dan ibunya: petir dan hujan yang tak bersuara karena terhalang kaca. Kutegakkan tubuhku, berusaha duduk, lalu menguap hebat. Begitu hebatnya sampai bersuara seperti lenguhan sapi kawin. Kupuaskan hasrat fisikku yang baru bangun dari tidur singkat kurang dari dua puluh menit.

Tangan naik ke atas, jari bergerak-gerak bagaikan memetik anggur. Mulut mengecap, berusaha mencari lidah yang mati rasa. Pipi yang dingin kugosok-gosok dengan telapak tangan, mencari kehangatan. Kuputar badanku ke kanan sekali. Kletuk. Nikmat nian bunyinya. Putar lagi ke kiri. Dan, kletuk kedua pun terdengar.

Lalu punggungku berhenti, tak bisa kembali. Layaknya disiram hujan di luar sana, aku megap-megap biadab.

Dina melihatku dalam diam, di tengah-tengah kesal yang disembunyikan dan geli yang tak terkatakan. Matanya berbinar menahan tawa, bahunya terangkat seperti telah melihat sesuatu yang jenaka. Dia telah melihat sesuatu yang sulit dijelaskan dengan logika. Sesuatu itu adalah benda berbentuk bola yang berusaha memeluntir tubuhnya sendiri ke segala arah seperti bermain sirkus, padahal kemanapun bola dipuntir bentuknya tetap saja begitu. Demi hukum fisika dan matematika, bola itu adalah aku. Tak keruan-keruan malunya.

“Hehehe.. Maklum, tidur nanggung gitu. Jadi capek semua rasanya,” jawabku.

“Ya sudah, tidur lagi,” balasnya. Gampang benar dia berkata seperti itu.

“Tak bisa tidur kalau tidak tenang. Setiap bus bergoyang, pasti bangun lagi,” jawabku memuntir kapala sampai berbunyi, mencoba mengembalikan tubuh ke posisi seharusnya. Jika malu adalah sebuah kezaliman, maka aku tak boleh menzalimi diriku lebih jauh lagi.

Kutoleh lagi dia, lalu bertanya:”Jadi, si mbak ini mau kemana?”

Jawabannya menjadikan perjalanan ini jadi jauh lebih menyenangkan.

“Oh, aku turun di Surabaya.”

Alis naik, mata sedikit menyipit, pipi terangkat, aku tersenyum lebar. Mantap.

Lalu, pelan seperti kentut tapi pasti bagaikan kiamat, Dina memberitahuku berbagai macam hal. Tahap basa-basi terlewati, kepura-puraan terlampaui. Tak perlu berlagak tak tahu. Setiap kata yang keluar, setiap maksud yang dia sampaikan, adalah hal baru. Cara lesung pipinya muncul ketika sedang tertawa, benar-benar menakjubkan. Matanya yang berkedip tiap mencerna apa yang kukatakan, sungguh elok nian.

Dengarkan apa yang dia katakan soal adiknya yang duduk di bangku SMA. Bagaimana perasaannya ketika melihat adiknya itu berpacaran di ruang tamu, sementara ibunya sibuk memasak untuk makan malam. Betapa dia sebal karena adiknya itu secara tidak terhormat menggunakan pulsa miliknya tanpa izin.

Wajahnya secara kasar kusebut sebal, mungkin sedikit kesal. Tapi tahukah kau jawabnya ketika kutanyai apakah adiknya itu dia marahi atau tidak? “Tentu saja. Aku kakaknya. Aku nggak rela ngeliat dia jadi nggak bener.” Kakak dan adik, Kawan, adalah perpaduan indah dari sayang yang memaafkan dan cinta yang memaklumkan. Seperti itulah, adik-adikku, perasaanku pada kalian.

Coba juga kau perhatikan bagaimana gadis ini menggunakan jari manisnya untuk menyingkirkan anak rambut yang bandel dan menempel di dahi. Andai kau memperhatikan, orang biasanya menyingkirkan anak rambut dengan telunjuk, kadang-kadang kelingking. Penggunaan jari manis yang unik ini, menunjukkan bahwa Dina berbeda dengan cara yang tak mampu kujelaskan.

Kutanyakan dimana dia kuliah, apa saja yang dipelajarinya di sana, dapatkah aku yang orang awam bisa mengerti disiplin ilmunya. Dia menjawab dengan sederhana dia kuliah di UGM, bahwa dia belajar tentang bangunan dan tetek bengeknya, dan menurut dia, kalau tukang saja bisa belajar membangun, maka tak ada alasan bagiku yang seorang desainer untuk tak memahami yang sedang dipelajarinya.

Ketika sedikit mengantuk dan bosan, dia secara tidak sengaja, menyentuh pahaku. Malu karena merasa bersalah, dia menggosok-gosok bahu sebelah kiri dengan tangan sebelah kanan sambil terkekeh-kekeh gugup. Pipi dan telinganya sedikit memerah karena sungkan.

“Mengapa perlu segan untuk hal yang tak kau sengaja?” tanyaku. Dia berusaha menjelaskan keseganannya dengan panjang lebar. Menurutnya, sengaja tak sengaja, tak ada hal yang terjadi secara kebetulan. Sengaja tak sengaja, bila itu menyakitkan tetap saja itu salahnya. Sengaja tak sengaja, bila bukan kebenaran, maka itu pastilah sebuah kesalahan. Sengaja tak sengaja, bila tak membanggakan, maka pasti memalukan. Sengaja tak sengaja, bila telah terjadi, maka dialah pelakunya. Gadis ini, dengan caranya sendiri, membuatku kagum.

Simak juga ceritanya tentang betapa ia menyukai tinggal di Jogja dengan segala macam kebebasan yang tak bisa didapatkannya dirumah. Caranya bercerita tentang Jogja, membuatku merasa kalau dia pulang kampung hanya untuk memenuhi panggilan orang tuanya. Menurut kisahnya, sudah tiga bulan terakhir ini bapak-ibunya berusaha memperkenalkan seorang karyawan muda padanya. Laki-laki tentu saja. Tapi wajahnya yang sedikit kesal, sudah cukup buatku untuk paham, bahwa dia sama sekali tak tertarik pada tawaran orangtuanya itu.

Karena penasaran, kutanyakan bagaimana tampang lelaki itu. Bila kondisi finansial laki-laki beruntung itu stabil, kenapa tak diterima saja perkenalan itu. Kujelaskan padanya teori “Ichigo Ichie”. Kukatakan padanya, mungkin perkenalan hanya sebatas pertemuan. tapi siapa tahu itu adalah pertemuan sekali seumur hidup? Bagaimana bila pertemuan itu, merubah apa yang dia perkirakan. Karena menurut pendapatnya tadi, sengaja tak sengaja, tak ada hal yang terjadi karena kebetulan. Tapi dengan tegas, dia menjawab: “Sudah kuambil keputusan, takkan kutarik apa yang sudah kuucapkan. Kalo emang nggak ada yang terjadi karena kebetulan, berarti itu termasuk juga di dalamnya sebuah penolakan. Dan kalaupun penolakan itu sebuah kesalahan, seenggaknya itu kesalahan yang menjadi pilihan”. Membalikkan keadaan. Kagum, kagum aku dibuatnya.

Ketika dia mulai bercerita bahwa dia sudah berusia dua puluh dua tahun, sudah satu semester tak punya pacar dan suka jalan-jalan di sepanjang jalan malioboro ketika sore menjelang magrib, aku sudah memasuki area kepercayaan. Setelah diceritakannya hal-hal itu, aku menjawab apa yang bisa kujawab, lalu tersenyum lebar. Daerah ini, Kawan, selalu kuanggap sebagai area aman memuji.

Menurutku, pada dasarnya semua orang suka dipuji. Pujian itu bagaikan taburan cokelat di atas eskrim vanilla. Berlebihan pun tak mengapa asalkan vanilanya tetap terasa. Jadi kukatakan padanya kalau aku tidak terlalu suka pada orang-orang yang menyemir rambutnya dengan warna-warna tak masuk akal. Kuberitahu Dina bahwa menurutku, orang-orang seperti itu tak memahami potensi yang ada pada diri mereka sendiri. Kuumumkan pendapatku bahwa orang Indonesia memiliki eksotismenya sendiri dengan rambut hitam pekat. Sebagai penutup dari penjelasan panjang lebar, kupersembahkan pujian bahwa aku menyukai rambutnya yang hitam dan lurus secara pantas. Kutanyakan padanya apa yang dia lakukan sehingga rambut itu menjadi sedemikian lurus. Elok pula dilihatnya.

Sambil tersipu, dia bertanya bagaimana aku yang seorang pria, bisa tahu ada yang berbeda dengan rambutnya. Kukatakan saja kalau baru kali ini aku bertemu rambut yang mempesona seperti rambutnya. Sungguh berlebihan tampaknya, tapi malu bercampur senang tampangnya. Untung tak jadi kukatakan kalau rambutnya bagaikan sutra dari surga. Kesederhanaan adalah keindahan itu sendiri.

Kukatakan juga padanya betapa aku beruntung bisa duduk bersebelahan dengan gadis terawat sepertinya. Kuterangkan juga teoriku tentang keindahan bisa menyebabkan kebodohan, juga bahwa itulah yang terjadi waktu dia memasuki pintu bus. Kuceritakan keyakinanku padanya bahwa setiap laki-laki di dalam bus ini—selain aku tentunya—sedang merutuk-rutuk mengenai teman seperjalanannya. Betapa aku yakin bahwa mereka sebenarnya ingin berada diposisiku. Betapa sebenarnya aku adalah orang yang beruntung. Betapa menyenangkannya mendapatkan kawan seperjalanan yang tak hanya cantik, tapi juga dengan kualitas pembicaraan yang menarik.

Tapi sebagus apapun kualitas sebuah obrolan, hanya beberapa saja yang mampu bertahan berjam-jam. Di antara pergantian topik-topik pembicaraan yang menyenangkan itu, selalu mengendap sedikit rasa bosan. Jam berdenyut, menunjukkan pukul delapan malam. Sudah delapan jam lebih kami di atas kendaraan. Setelah mengobrol lebih dari setengah perjalanan, kesenangan akan tema-tema baru sedikit menguap. Bosan karena tak menemukan kata-kata untuk diucapkan, membuatku diserang kantuk yang sulit ditahan.

Hujan sejak pagi membawa hawa dingin yang nyaman dan membuat mata tak kuasa untuk bertahan. Pelan tapi pasti, aku kembali jatuh tertidur dengan kepala bergoyang seirama getaran bus. Pendingin ruangan sungguh tak membantu. Sudah sampai setengah bermimpi, hampir sampai sudah aku di pulau penuh durian. Lalu Dina, dengan mata yang segar dan tak terkena efek kantuk, datang sebagai sesuatu yang ajaib. Kata-kata, bila datang dari orang yang tepat, memberikan efek yang sungguh tak dapat dicapai logika.

Dapat kurasakan gadis itu bergerak kecil mendekati kupingku untuk membisikkan kalimat yang penuh dosa, tapi sungguh menggoda.

“Don’t fall asleep, or you’d like to hear a good bye rather than see you later.”

Angin berhenti, layarku tak terkembang. Ujung kapal menabrak karang. Kapalku karam sebelum sampai di pulau durian. Dalam sekejap, perasaan hangat itu, membangunkanku. Goncangan bus menjadi lebih terasa, seirama dengan degup jantungku. Aku dapat mendengar setiap gerakan gorden yang bergesek. Tercium jelas olehku bau apak kursi penumpang. Terlihat jelas olehku setiap tetes hujan di luar sana. Inderaku menjadi lebih peka hanya karena serangkaian kata-kata dari gadis yang baru kukenal. Kutelengkan kepalaku padanya.

“Eh?”

“I won’t repeat it again. Don’t fall asleep, or you’d like to hear a simple and maybe a little terrible good bye rather than a simplistic sweet see you later,” ulang Dina, dengan sedikit senyum jahil dan sebuah kerlingan. Sebuah ancaman yang tak menakutkan, cenderung menyenangkan.

Kutorehkan kembali senyumku. Kami kembali berbicara, bercerita, hingga waktu ikut dalam obrolan kami dan berkata bahwa sepuluh jam kami sudah habis. Saatnya berpisah.

Ketika sampai di terminal penumpang, kami berdua membeli teh panas dan meminumnya di tempat. Terminal penumpang Surabaya pukul sebelas malam sungguh ramai. Dengkur pengemis yang tertidur di lantai, teriakan lelah para supir taksi yang mencari penumpang dan langkah-langkah kaki calon penumpang yang memang sengaja mengambil bus malam menggantikan suara hujan yang tadinya lembut menenangkan. Dalam momen ini, waktu melambat, memberikan kesempatan untuk saling mengucapkan perpisahan singkat.

Aku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi sekali lagi lidahku salah paham dengan apa yang sebenarnya diinginkan otak. Suara yang keluar seperti orang tersedak. Berdeham sedikit, lalu kubuka mulutku lagi, tapi Dina mendahuluiku.

“Kamu teman seperjalanan yang menyenangkan. Kamu pantas mendapatkan pertemuan lain.”

Tersenyum singkat, lalu mengangguk. Cuma itu yang bisa kulakukan.

Teh hangatku telah habis, begitu juga miliknya. Aku berdiri, dia berdiri. Dia mengangguk, aku mengangguk.

“Kalau begitu, sampai ketemu lagi,” ujarku sambil tersenyum. Ikhlas, tanpa tendensi atau kebodohan lain dibaliknya.

“Yep. Sampai ketemu lagi. Menyenangkan mengobrol denganmu,” jawabnya. Dia tersenyum manis. Manis tak terperikan. Lalu berbalik dan melangkah, pergi. Begitu juga aku. Berbalik dengan sedikit berat, lalu melangkah pergi.

Dalam perjalanan menuju Gresik dengan bus kota yang sama sekali takkan sebanding dengan Patas, aku memikirkan Dina. Gadis yang usianya tiga tahun lebih tua dariku, begitu menyenangkan, mengagumkan dengan caranya sendiri, yang menyayangi adiknya, menyukai orang yang memuji rambut halusnya dan tersipu segan ketika melakukan kesalahan sederhana. Lalu kurasakan telepon genggamku bergetar. Kulirik sekilas layarnya, foto seorang gadis tersenyum ramah, hitam, manis dan kusayangi.

Sebuah SMS masuk.

“Malam, Abang. Udah sampai mana ni?”

Ketika melihat foto gadis itu dan SMS yang dikirimkannya untukku, aku sadar, aku telah dimiliki.

Dan karena itulah, pertemuan dengan Yuniar Feradinata bukanlah pertemuan dua, tiga, apalagi empat kali. Tapi sekali, hanya sekali untuk seumur hidup.

Tidak ada komentar: