Hidup sama persis seperti tuts pada piano. Bahkan tuts yang hitam, bila dimainkan dengan tepat, akan menghasilkan musik

Sabtu, 19 Maret 2011

Bukan Tiga, Apalagi Empat (bagian dua)

Aku baru satu setengah tahun berada di Jogja, belum kuhapal iklim persisnya, tapi Januari ini mendung masih menggantung kuat di langit-langit kota. Kelabu yang sejuk dengan angin lembut yang menyenangkan selalu membawa mood yang bagus untukku. Bahkan siang itu gerimis berdansa kecil dijalanan, menambah satu lagi alasanku untuk menyukai kota ini. Baru sebentar saja rasanya aku di Jogja, tapi sudah betah aku menyebutnya ‘rumah’. Apabila besok harus kembali dari kampung ke Jogja, aku selalu bilang:”Besok aku pulang,” bukan “Besok aku kembali ke Jogja”.

Begitu juga hari ini ketika akan pulang ke Gresik. Gerimis melompat kecil dan lembut. Pelan dan merindukan, angin ringan mengelus rambutku yang sudah panjang dan terancam dipancung Mamak ketika sampai di rumah nanti. Biasanya hawa seperti ini membuatku merasa senang. Tapi tidak hari ini. Sudah satu jam kutunggu bus Patas jurusan Jogja-Surabaya, tak datang-datang rupanya dia. Kesal juga lama-lama aku dibuatnya.

Ada lima orang yang sedang menunggu bus. Tapi tak kutahu bus apa yang juga membuat mereka harus menanti. Rasa kesal rupanya menghasilkan arogansi berlebihan dan menyebabkan keengganan untuk berkenalan. Jadilah aku duduk saja di kursi tunggu, bengong tak melakukan apa-apa. Walau tak kuluncurkan pertanyaan pada orang-orang tadi, tetap saja rasa bosan, mungkin ditambah sedikit penasaran, membuatku menjadi lebih perhatian.

Bapak-bapak yang sedang berdiri di pojok sana dengan baju muslim itu kutaksir usianya kepala empat. Kutemukaan kerutan yang sama di wajahnya seperti yang kulihat pada Ayahku. Dari bercak, warna dan motif yang memudar pada baju, beberapa benang yang keluar dari jalur pada celana dan aroma tubuhnya, dapat kupastikan dia berasal dari tingkat ekonomi menengah ke bawah. Dari matanya yang tak sabar, jari telunjuk dan jempol yang terus menerus disentuhkan dengan cepat dan kaki yang diketuk-ketukkan secara simultan, dia sedang menunggu seseorang, atau beberapa. Mungkin istri atau temannya.

Tiga gadis berjilbab berjarak empat kursi dariku terbahak tiba-tiba.

Yang berjilbab hijau itu masuk ke dalam tipe cantik menurut pahamku. Kelingkingnya terangkat sedikit ketika menaikkan kacamata. Dia adalah orang yang sopan dan teliti, mungkin sedikit perfeksionis.

Si kerudung kuning, berwajah manis dengan lesung hanya di pipi kanan. Memukau nian kerudung yang ia kenakan. Membelit sederhana disekeliling leher, bergelung manis di atas kepala.

Sedangkan jilbab biru muda, tak cantik, tak pula manis, tapi menarik sekali cara dia tersenyum. Tiap kali senyum lebar dari bibir sopan itu terkembang, matanya menyipit lucu.

Menurut pendapatku, mereka mungkin mahasiswi semester empat atau enam di UII atau UGM. Tak bisa aku berpendapat lebih jauh. Mahasiswi dari kedua universitas itu memang terkenal cantiknya. Tak jarang aku dan seorang kawanku berjalan-jalan di sekitar kedua kampus itu hanya untuk cuci mata. Tenang saja, Kawan. Tak lebih dari cuci mata.

Laki-laki kedua duduk tak jauh dari tempat dudukku mungkin mahasiswa semester tua. Mungkin juga karyawan muda. Matanya yang sayu dan dahi yang sedikit berkerut itu, bila bukan karena telah lama menunggu bus yang tak kunjung datang, pasti karena beban SKS yang tak kelar-kelar(bila ia mahasiswa) atau mungkin karena tugas kantor yang melelahkan(bila ia karyawan).

Baru selesai aku mengamati orang-orang itu, bus Patas yang kutunggu-tunggu datang jua. Senangnya hatiku. Riang gembira, gegap gempita. Kuangkat tasku. Langsung naiklah aku ke dalam ketika pintu bus dibuka. Disambutlah aku dengan senyum pak supir yang lelah. Kupilih kursi dekat jendela, kuletakkan tasku di kursi sebelah. Dunia terasa lebih indah, gerimis di balik jendela kembali terlihat menyenangkan. Senangnya hatiku. Riang gembira, gegap gempita.

Mungkin untuk yang bertanya-tanya, tak ada satupun dari lima orang yang kuamati tadi menaiki busku. Bahkan tidak juga tiga gadis berjilbab itu. Namun tak apa. Selama sudah dapat bus, tenang sudah hatiku ini.

Kutunggu sekitar lima belas menit, bus langsung penuh. Jangan bertanya padaku. Jika kau Tanya padaku, pada siapa aku bertanya? Tak tahu pula aku darimana datangnya penumpang sebanyak itu. Hanya Tuhan yang tahu, Kawan. Hanya Tuhan yang tahu.

Meski penuh busku, harapanku agar kursi sebelah kosong dan bisa diduduki tasku, tetap terpenuhi. Sepertinya keinginan laki-laki yang duduk di kursi depanku sama, dan juga dikabulkan. Penumpang lain sudah dapat pasangan duduk sendiri-sendiri, aku—seperti kata seorang kawan—merasa seperti ditalak tiga. Tapi karena aku seorang yang sederhana, duduk bersama tas dan berkawan ketukan hujan di luar jendela saja, sudah cukup menyenangkan bagiku. Untuk sekarang, itulah prinsipku.

Lalu pintu bus terbuka, sebuah wajah masuk dan langsung mengubah prinsipku.

Biar kugambarkan ia untukmu.

Seorang gadis, mungkin sekitar dua puluh satu atau lebih sedikit. Rambutnya lurus tak disemir-semir aneh, hitam pekat sebahu. Jangkung, tingginya melebihi kupingku. Jarang kutemui gadis setinggi itu di luar lapangan voli atau basket. Matanya bulat dengan bulu mata yang tak berlebihan. Bibir tipisnya berada pada tempat yang ideal di atas dagu yang sudut kelancipannya sungguh mempesona. Kurus namun ideal, kurasa. Tas bepergian kecil cokelat, jaket cokelat-hitam bertudung, kaus kuning bergambar nobita dan celana jins adalah kombinasi berpakaiannya. Kesederhanaan yang menyilaukan. Mantap.

Gadis itu masuk dan berdiri di bagian depan bus. Matanya yang bulat menyusuri penumpang dengan cepat, mencari sisa kursi yang tersedia. Matanya berhenti di kursi sebelahku dan yang sebelah laki-laki di depanku. Tak tahu kenapa, aku dan laki-laki itu jadi gelisah. Gugup tak beralasan.

Tak pernah kutahu apakah gadis cantik itu telah menentukan pilihan atau belum, tapi ia sudah melangkah kearahku dan laki-laki didepanku. Keindahan membawa takjub. Takjub cenderung menjadi gugup. Rasa gugup menjelma jadi ketergesa-gesaan. Ketergesa-gesaan berubah menjadi kepanikan. Kepanikan, Kawan, pada beberapa orang dapat mengakibatkan kebodohan. Itulah yang terjadi pada laki-laki malang di depanku. Diakibatkan jarang bertemu gadis cantik, laki-laki itu turun derajat intelejensianya selama beberapa detik.

Tapi beruntunglah karena seorang psikolog terkenal mencetuskan ide bahwa seniman adalah manusia-manusia dengan intelejensia tertinggi. Dan beruntunglah aku karena kuliah di Institut Seni Indonesia. Aku adalah seorang seniman. Salah satu manusia dengan intelejensia tertinggi. Kecerdasanku adalah yang paling tinggi, turun sedikit, tak mengapa.

Karena tak menjadi bodoh selama beberapa detik, kumanfaatkan kesempatan itu. Terburu-buru kuangkat tasku. Kugeser sedikit tempat dudukku. Kembang kempislah hidungku ketika gadis mempesona itu berhenti di sebelahku dan tersenyum. Cantik, cantik sekali. Ketukan hujan di luar jendela menjadi lebih indah ketika dia bertanya:

“Kosong kan? Aku duduk di sini ya?”

Tak dapat lagi kutahan-tahan, bahkan seorang seniman yang merupakan manusia dengan kecerdasan tertinggipun telah gadis ini taklukkan. Senyumku terbuka lebar, lebar sekali. Tahu rasa aku sekarang. Selama sepersekian detik, aku menjadi bodoh. Tak dapat aku menjawab pertanyaan gadis itu karenanya. Malang benar nasibku.

Tapi lebih malang lagi nasib laki-laki di depanku itu. Dia hanya bisa terperangah melihat senyum lebarku. Kadang, keberuntungan bisa menjadi begitu kejam. Tapi tidak hari ini. Tidak di tempat ini. Tidak pula pada diriku.

Mungkin karena sudah tahu aku takkan menjawab pertanyaan sederhana karena sedang terpercik pesonanya, gadis itu tersenyum sekali lagi—yang membuat suara hujan di luar semakin indah menjadi-jadi—sebelum duduk dan memangku tasnya. Dicarinya posisi duduk yang nyaman, lalu kembali ia menoleh padaku. Aku yang baru mulai mendapatkan kembali kesadaran, lalu diterpa wajah cantik tiada tara itu lagi, hanya bisa mengeluarkan suara seperti deguk bodoh. Terkikik kecil gadis itu. Setelah mencoba beberapa kali, akhirnya keluar juga kalimat penuh dan sempurna, masih dengan senyum lebar.

“Pada keadaan darurat, parasut dan pelampung ada di bawah kursi anda. Semoga perjalanan anda menyenangkan.”

Uh-oh. Aku meracau pada saat yang tidak tepat.

Diam sesaat. Mengira aku akan mengatakan ‘hai’ atau semacamnya, senyum basa-basi gadis itu tertahan di tengah jalan. Aku masih tersenyum lebar, sedikit bingung dengan apa yang keluar dari mulutku. Aku tak pernah bermaksud berkata seperti itu. Aku mengalami diskoordinasi antara otak dan mulut.

Mata gadis itu menyipit sedikit, pipi terangkat, lalu bibirnya melebar. Saat itulah aku bersyukur pada racauanku. Senyumnya melebar, terkikik kecil, lalu tertawa-tawa ceria sambil memberi tatapan “sumpah, lo gugup abis yak?” padaku. Bingung aku bagaimana seharusnya bereaksi, senyumku yang lebar itu masih juga menolak menjadi sedikit lebih sopan.

“Nggak nyangka belum-belum udah dapat teman seperjalanan yang gokil gini,” lanjutnya sambil masih sedikit tertawa. “Kenalin, namaku Dina.”

“Apip. Panggil aja Apip,” jawabku. Jelas, sederhana, memukau. Elok bukan buatan.

“Ha? Afif maksudmu?” Tanya Dina lagi. Tangannnya kembali mengatur posisi tas dipangkuan.

“Afif, iya. Tapi panggil aja Apip. Lebih gampang diucapkan, kesannya juga ramah dan lucu. Kayak orangnya,” jawabku. Meracau lagi lidahku ini.

Gadis berambut sebahu ini tertawa kecil lagi. “iya, iya. Apip.”

Dalam jarak sedekat ini, kutemukan lebih banyak lagi hal yang membuatku tertarik. Halus benar rambut hitam itu, sedikit tidak alami, kemungkinan karena smoothing. Kulitnya mirip jenis kulitku, merupakan jenis warna yang ada di antara putih dan kuning, dengan sedikit rona kemerahan di beberapa bagian. Kuku jarinya pendek terawat, tanpa kutek. Kulihat kukuku. Seperti sehabis dipotong dengan kampak. Cepat-cepat kusembunyikan jemariku. Bibir tipisnya melebar ke samping, dibalur lipbalm agar tak kering kena udara dari pendingin.

Dina tiba-tiba melihat ke arahku. Macam hendak menerkam saja tingkahnya.

“Hayo, ngeliatin apa? Cakep ya aku?”

Uh-oh. Gadis cantik ini ternyata juga seorang cenayang. Cepat-cepat kubersihkan pikiran, kusucikan hati. Senyum lebar kembali terpasang.

“Enak aja. Ge er banget. Cuman pengen tahu kamu butuh bantuan nggak,” jawabku basa-basi, setengah akrab, sedikit menjilat. Dina cuma geleng-geleng. Rambutnya bergerak pelan.

“Nggak ah. Cuma gini aja kok.”

Kuangkat sedikit bahuku dan berpaling. Ya sudahlah. Aku kembali ke posisi duduk yang nyaman, memasang headset di telinga. Kuhidupkan musik dan Bella Luna-nya Jason Mraz pun mengalun pelan, menggantikan ketukan hujan yang tak lagi terdengar karena kegugupan singkat. Kupejamkan mata, suara musik yang tak lagi terdengar jelas mulai menenangkan perasaan senang yang sedikit berlebihan dan tak dapat dijelaskan. Aku telah jatuh dalam mimpi, bahkan sebelum perjalanan dimulai.

Tidak ada komentar: