Hidup sama persis seperti tuts pada piano. Bahkan tuts yang hitam, bila dimainkan dengan tepat, akan menghasilkan musik

Sabtu, 21 Mei 2011

It feels like biting grapes: sourly sweet tasted.
Feels exactly like touching beach sand with bare feet: comforting warmth.
It feels like cheating on you.
Feels like fallin' for her.

Jumat, 20 Mei 2011

Postulat I:
"Ketampanan dan kecantikan berbanding lurus dengan kemudahan akses yang bisa didapatkan."

Postulat II:
"Perubahan status dari teman menjadi pacar adalah peningkatan beberapa level dalam intensitas kontak fisik dan jumlah rahasia yang disembunyikan, serta penurunan drastis kualitas obrolan dan tingkat kejujuran."

Minggu, 08 Mei 2011

Finally,
THIS.SHITS.FINISHED.
*screaminghappily*

Selasa, 03 Mei 2011

Aku selalu suka jalan-jalan malem. Kayak malem ini.
Udah hampir satu minggu aku nggak tidur, seperti biasa, insomnia merajalela. Seperti biasa juga, aku mutusin buat jalan-jalan malem. Khusus malem ini, berhubung jalan-jalannya sendiri aja, aku pengen yang agak jauhan. Malem ini, aku pengen ke Pantai Sundak.

Download peta dari Google, print, terus masukin ke tas. Siapin jas ujan, roti sama air minum, masukin tas. Jaketku yang paling tebel udah nempel di badan.

Dan seperti biasanya juga, aku masih candu sama jalan-jalan malem.
Jalan ke arah tujuan bener-bener sepi. Sunyi dan dingin. Tapi nggak tahu kenapa, sensasi-sensasi ketika cuma ada suara mesin motorku di jalan, angin dingin di pipiku, lampu jalan kuning yang remang-remang sama sunyi yang padet itu bener-bener nikmat. Aroma tanah yang basah kena embun atau wangi rumput yang manis bener-bener udah jadi ganti rokok buatku.

Sampai di Pantai Sundak, aku jalan ke pinggir pantai, dan bengong.
Yep, aku bengong gitu aja.

Tapi kamu tahu, aku suka banget sama rasa sensasi aneh waktu kulit telapak kakiku nggesek-nggesek di pasir. Aku suka bau garam laut. Aku suka angin deres yang bisa bikin aku sempoyongan. Plus, malem ini cerah banget. Cerahnya itu cerah yang sama sekali nggak ada awan. Dan di Pantai Sundak yang minim polusi cahaya kayak di tengah Jogja, aku bisa ngeliat banyak banget bintang. Banyak banget.

Seumur hidup, aku belum pernah ngeliat bintang di langit bisa sebanyak itu. AKu ngerasa kecil banget. Bintang-bintang tadi udah ngingetin aku kalau Allah emang ada.

Aku sering banget ngelamun nggak jelas kalo lagi insomnia gini. Termasuk sekarang.
Dari lamunanku malem ini aku nyadar, kalau aku ayaknya udah bosen sama semua yang ada di hidupku sekarang. Aku bosen sama semua kuliah dan dosenku. Aku bosen sama semua kawan-kawanku. Aku bosen sama semua kegiatanku yang antara nge-job, kuliah, makan, tidur mulu. Dan bagian paling menyedihkannya, aku pikir aku mulai bosen sama kamu.


Aku nggak butuh sesuatu yang baru kok dalam hidupku. Aku cuma butuh.. bosen ini cepet pergi. Dan butuh tidur panjang. Just that.

Minggu, 01 Mei 2011

Tiga gelas jus melon, empat cangkir kopi dan dua cangkir chamomile tea. Didepanku sendiri ada segelas besar jus buah dengan campuran favorit: tiga perempat jus apokat, seperempat sisanya jus jambu biji. Kombinasi cantik itu memberikan getir pahit sederhana apokat di belakang lidah dan manis menyegarkan jambu biji diujungnya. Gadisku itu lalu mengangat cangkir kopinya. Sebuah hirupan kecil, desahan napas pendek dan sebuah lirikan. Aku selalu menyukai cara dia mengerling.

Tempat itu ramai benar. Lampu-lampu kecil warna-warni berkelip-kelip lucu. Penuh keceriaan. Kawan-kawannya tertawa, terbahak gara-gara candaan yang membuatku tersenyum kecil. Kulihat wajahnya. Senyumnya lebar, pipinya yang menggemaskan merona kemerahan. Entah karena tertawa terlalu lepas, entah gara-gara udara yang hangat. Rambutnya bergetar, terguncang seiring gerakan bahunya. Aku sungguh menyukai cara ia tertawa.

Diletakkannya kepalanya dipundakku. Lenganku dirangkulnya. Hangat. Otomatis, kawan-kawannya pun menyuiti, menyoraki tingkahnya yang mesra. Aku tersenyum lagi, bisa kurasakan pipiku ikut merona. Kupingku terasa panas karena sungkan. Dan gadisku tak sedikitpun terganggu oleh kawan-kawannya. Ia menenggelamkan wajahnya dilenganku, menghirup napas dalam-dalam. Dulu, ketika aku bertanya mengapa ia melakukan itu, gadisku menjawab:”Aku sungguh menyukai aromamu.”

Kubelai rambutnya, halus selalu, seperti biasanya. Kusentuh hidungnya, mungil menyenangkan, masih sulit ditolak. Gadis itu tersenyum, menggigit bahuku dengan sayang. Ia tak peduli dengan lingkungan, tak peduli pada kawan-kawannya. Lalu ia mengajakku pulang. Aku mengangguk, ia berpamitan pada semuanya. Disambut dengan beberapa desahan kecewa, maklum malam belum terlalu larut. Ia tertawa kecil, lalu melambai memberian salam perpisahan. Ia berbisik di telingaku:”Aku selalu lebih menyukai menghabiskan waktu bersamamu.”

Di dalam mobil, ia mengecup pipiku. Dia bilang:”Aku menyayangimu, dan akan selalu begitu.”

Kugenggam tangannya, kuletakkan didadaku. Kurentangkan tangan, kudekap ia erat. Seperti biasanya, ia menenggelamkan wajahnya di dekat leherku. Kudekatkan mulutku ketelinganya. Kutarik napas dalam. Lalu semuanya menjadi begitu cepat, menjadi begitu berat. Aku takut. Aku tak berani. Kalau boleh kukatakan bahwa aku seorang pengecut, maka ya, aku memang pengecut.

“Aku berubah, tak lagi seperti dulu. Kupikir, kita harus putus. Aku ingin membatalkan pertunangan kita.”

-hampir dua tahun yang lalu, salah satu saat paling berat dalam hidupku-