Hidup sama persis seperti tuts pada piano. Bahkan tuts yang hitam, bila dimainkan dengan tepat, akan menghasilkan musik

Kamis, 17 Maret 2011

Bukan Tiga, Apalagi Empat (bagian satu)

“Eh. Kamu udah denger belum? Ferdi ditolak lagi tuh sama Ayu. Tau gak? Habis ditolak gitu ya, masak Ferdi masih maksa-maksa gitu. Kalo kamu-kamu pada liat, sumpah jijay bajay dah. Begging banget sih tu orang? Nggak liat tampangnya dulu kali ya kok berani-beraninya nembak si Ayu.. Ck ck ck..”

“Eh. Masak sih? Ayu ditembak lagi? Katanya kemaren si Deni nembak dia juga loh. Gila laku banget ya si Ayu. Padahal kayaknya sih nggak cakep-cakep banget. Mungkin cuma gara-gara dia modis dan feminin kali ya? Wajahnya keibuan gitu. Sapa sih yang nggak suka?”

“Padahal gua sama dia juga masih cakep gua dwech. Dasar cowok-cowok jaman sekarang nggak punya selera yang bagus kalo liat cewek. Masak sich gua yang manis nan tajir gene kagak laku-laku? Bujug buneng emang ni cowok-cowok di kampus kita yach.”

Cepat, rapat dan tak pernah singkat.

Bisakah kalian melihatnya? Bakat mendeduksikan satu tema sederhana menjadi kalimat-kalimat panjang bernada hipotetik, simpatik dan sarkastik, sedikit ofensif dan kritis yang disusun menjadi sebuah percakapan menarik. Hebat nian makhluk-makhluk cantik ini.

Menurutku, Kawan, begitulah cara gadis-gadis berbicara. Mereka memiliki bakat untuk menyampaikan banyak informasi dalam waktu tak lama. Kaum hawa adalah manusia-manusia dengan bakat periklanan alami. Ketika berkumpul berbicara, gadis-gadis menjadi berbeda. Tak seperti ketika mereka sendirian dan di ajak seorang laki-laki bicara: defensif, pemalu dan segan.

Selalu menyenangkan, dan tentu saja sedikit memusingkan mendengarkan sekumpulan gadis berbicara. Aksen yang mereka gunakan, gerakan tubuh yang menyesuaikan, semangat yang disemburkan dan informasi yang terkadang mereka lebih-lebihkan—lebih renyah, lebih berat dan kadang bahkan lebih menarik—dari aslinya selalu membuatku merasa takjub.

“Anjrit, aku ditolak lagi.”

“Haduh. La kok bisa? Kurang romantis?”

“Ya nggak tahu aku. Si Ayu pake marah-marah lagi tadi.”

Lambat, padat dan selalu, selalu singkat. Kadang bahkan tak memuaskan pendengar.

Kata banyak orang, kira-kira macam itulah jika kaumku, para laki-laki, sedang curhat. Bila para gadis memiliki bakat alam untuk menjadi orang-orang periklanan, kami cenderung seperti teroris bom bunuh diri. Semua-semuanya, bila tidak terpaksa, akan segera meledak atau diperintah atasan, akan selalu disimpan sendiri. Tapi entah mengapa, entah bagaimana, hampir semua laki-laki yang kukenal adalah orang-orang yang menyukai obrolan. Termasuk aku sendiri.

Aku senang mempelajari perilaku orang. Setiap manusia itu berbeda dan menurutku, perbedaan adalah hal yang bagus dan tak perlu didebatkan. Hal-hal yang mereka sukai dan benci, alasan-alasan di balik kemalasan orang-orang melakukan sesuatu, maksud-maksud tertentu di belakang hobi-hobi yang tiap minggu dilaksanakan dan keinginan-keinginan tersembunyi yang tak tersampaikan adalah hal-hal yang menjadi daya tarik setiap pribadi. Setiap detail itu, rahasia di antara lipatan-lipatan kenangan dan perban-perban ingatan yang mereka ceritakan adalah sesuatu yang pantas dikenang dari setiap orang. Rincian dan jawaban tentang apa, siapa, bagaimana, darimana, dari kapan yang datangnya dari pribadi berbeda merupakan sebuah keajaiban. Kata Sen no Rikyu, seorang ahli upacara minum teh dari jepang, hal ini disebut “Ichigo Ichie”, dalam bahasa Indonesia berarti “pertemuan sekali seumur hidup”. Maksud dari kalimat pendek itu tak lain tak bukan adalah bahwa kita harus menganggap setiap pertemuan dengan seseorang hanya terjadi sekali seumur hidup, karena itu perlakukan setiap orang dengan istimewa. Mantap.

Kembali ke topik awal, aku selalu tertarik mengamati berbagai macam orang yang kutemui. Biasanya, pengamatan itu kulakukan dengan mengajak mereka ngobrol panjang. Bagiku, ngobrol adalah hal yang menyenangkan dan relatif mudah. Jadi bukanlah obrolan itu sendiri yang sulit. Tapi cara memulainya. Setelah mendapatkan pembicaraan yang cocok, sisanya akan terus mengalir.

Dengan orangtuaku, aku bisa mendapatkan kualitas obrolan yang menyenangkan. Ngobrol dengan adik-adikku, tak jarang level pembicaraan yang tegang pun terlampaui. Bersama kawan-kawan, sampai berbusa-busa aku bicara.

Bagiku, yang paling menarik adalah berbicara dengan mereka yang belum kukenal.

Bila kuajak bicara orang yang sedang duduk di bioskop, kutahu itu akan mengganggu. Kuajak bicara mereka yang sedang duduk di alun-alun kota, disemprotlah aku karena dianggap merusuhi yang sedang pacaran. Jadi kesempatan seperti ini agak langka buatku. Kesempatan untuk bermanis-manis ria itu, Kawan, hanya kudapatkan tiap beberapa bulan sekali. Kadang bahkan sampai setengah tahun sekali. Dalam perjalaaan ketika pulang kampunglah kudapatkan pengalaman bertemu orang-orang baru.

Bus yang kunaiki adalah jenis yang Cepat Terbatas. Untuk terkesan gaul, kusebut saja ia Patas. Tempat duduk yang empuk, sela untuk kaki berselonjor, pendingin ruangan, air putih satu gelas untuk sepanjang perjalanan dan senyum manis pak supir dan kondektur adalah fasilitas yang bisa kau dapatkan hanya dengan membayar Rp 63.000 dari Jogja ke Gresik. Jalannya cepat, tak perlu lama berhenti di terminal dan penumpang dapat istirahat plus makan di sebuah restoran pinggir jalan. Hebat nian kendaraan ini. Takkan mau aku naik kereta ekonomi lagi.

Tapi demi kenyamanan bersama dan tetap tebalnya kantong pak supir, tempat duduk di bis ini bertipe dua yang didempet jadi satu. Dua kursi di sisi kanan bis dan dua lagi di sisi kiri adalah efisiensi ruang yang digunakan perusahan otomotif moderen untuk kendaraan keren ini. Jadilah bila tidak sedang sepi penumpang, aku harus duduk berdua dengan orang yang tak kukenal. Membaca buku akan membuat kepalamu pusing. Bersiul-siul dianggap mengganggu. Akhirnya, atas nama kesopanan, mengobrol adalah satu-satunya hal yang bisa dilakukan di atas bus yang sedang berjalan.

Takkan pernah kuberitahu apa saja pertanyaan-pertanyaan yang kutanyakan pada kawan setempat dudukku di bus padamu. Sudah kubilang takkan pernah. Ah, janganlah kau memaksa. Tolonglah, ini rahasia pribadi. Oke. Baiklah kalau kau memang sepenasaran itu. ‘Kan kuberitahu hanya padamu, sahabatku.

“Halo, kenalkan, saya Apip. Anda dari mana?” Darimana adalah pertanyaan yang paling umum, tapi aku selalu salah menebak jawaban kawan setempat dudukku. Biasanya mereka menjawab dengan menyebutkan sebuah nama kota. Tak satupun dari mereka yang menjawab “Oh, saya naik bus ini dari terminal. Anda dari mana?”

Bila sudah sedikit akrab, ku ‘kan tanyakan pada mereka:”Kuliah juga ya? Atau sudah kerja? Anak berapa?” dan lain semacamnya. Ini adalah tahap basa-basi. Lawan bicaraku kadang menjawab dengan senyum dibuat-buat yang kehangatannya tak sampai ke mata.

Kadang, ketika kurasa sudah cukup banyak aku berbasa-basi, yang kutanyakan selanjutnya adalah seputar musik dan film yang mereka dengarkan dan tonton. Bisa juga soal bidang apa yang mereka dalami di kampus. Pada tahap ini, sesekali berpura-pura tak mengerti tapi tetap dengan wajah penasaran akan membuat mereka senang. Tak tiap hari kau bertemu orang baru. Walaupun kau sebenarnya sudah tahu dan lebih mengerti, tahan otakmu sedikit, Kawan. Semua orang ingin dianggap lebih pintar.

Sayangnya, pembicaraan yang telah kumulai dengan susah payah lebih sering berakhir dalam waktu singkat dikarenakan lawan bicara yang entah sedang dalam mood yang buruk atau apa, menjadi pasif. Logika keseimbangan sebab akibat pun terjadi. Jika lawan bicaraku pasif, tak butuh waktu lama, akupun tertidur pulas dengan mulut terbuka ke segala arah. Itu bukan salahku. Sudah kuusahakan sebisaku agar yang menjadi aib bagi mulutku tetap berada pada tempatnya, apa dayaku bila mereka tak memiliki semangat ngobrol denganku?

Memang jarang aku mendapatkan kawan seperjalanan yang menyenangkan. Terus terang aku sendiri lebih memilih agar tempat duduk disebelahku digunakan oleh tas yang besar nan berat. Tapi, entah memang rejekiku atau kesialan laki-laki yang duduk di kursi depanku, pertemuan sekali seumur hidup yang manis itu akhirnya datang juga padaku.

Tidak ada komentar: