Hidup sama persis seperti tuts pada piano. Bahkan tuts yang hitam, bila dimainkan dengan tepat, akan menghasilkan musik

Selasa, 26 April 2011

127 Hours





















Bayangin kamu terjepit di dalam celah yang lebarnya kurang dari dua meter dengan hanya berbekal sepotong sandiwch dan sebotol air minum. Bagian mengerikannya, kamu cuma dapat kehangatan sinar matahari selama lima belas menit. Lebih mengerikan lagi, nggak ada yang tahu kamu dimana, pergi kemana dari jam berapa.


Bayangin kamu jatuh ke dalam celah di tengah gurun, tanganmu remuk karena tertimpa batu sebesar tiga kali ukuran kepala Bagian mengerikannya, semakin kamu meronta dan berusaha melepaskan batu itu, semakin kuat dan rapat himpitannya pada tanganmu. Lebih buruk lagi, kamu harus menahan rasa tidak nyaman dan terpaksa tidur dengan tangan yang mati karena tidak mendapat pasokan darah.

Bayangin aja kamu kehausan dan terpaksa minum kencingmu sendiri karena persediaan air sudah habis, semut-semut mulai ngerubungin badanmu karena ngira kamu sebentar lagi mau mati. Bagian mengerikannya, kamu mulai memperhitungkan kalau kamu bakalan mati karena kelaparan dan dehidrasi. Lebih buruk lagi, kamu hampir yakin kalau nggak bakalan ada orang yang bisa nolongin dirimu.

Aku gemetar hebat setelah nonton film ini.
Intro yang mengagumkan.
Aron Ralston bener-bener ngajarin aku dengan cara yang mengerikan kalau kita nggak tahu seberapa berharga apa yang udah kita miliki sebelum benda itu hilang. Aku jatuh cinta sama hujan halusinasi yang menjadikan semua adegan di dalam film ini begitu mendebarkan.
Sinematografinya berhasil bikin aku ngakak setelah berkaca-kaca. Kupikir aku jatuh cinta juga sama musik dan plot yang berkali-kali berhasil bikin aku bingung antara harus ngerasa seneng atau sedih.
Plus, ending yang memuaskan.

Agak basi memang, tapi bener juga kata orang,
Kita baru bisa benar-benar ngelihat kehidupan ketika sedang menghadapi kematian.

Tidak ada komentar: