Hidup sama persis seperti tuts pada piano. Bahkan tuts yang hitam, bila dimainkan dengan tepat, akan menghasilkan musik

Minggu, 01 Mei 2011

Tiga gelas jus melon, empat cangkir kopi dan dua cangkir chamomile tea. Didepanku sendiri ada segelas besar jus buah dengan campuran favorit: tiga perempat jus apokat, seperempat sisanya jus jambu biji. Kombinasi cantik itu memberikan getir pahit sederhana apokat di belakang lidah dan manis menyegarkan jambu biji diujungnya. Gadisku itu lalu mengangat cangkir kopinya. Sebuah hirupan kecil, desahan napas pendek dan sebuah lirikan. Aku selalu menyukai cara dia mengerling.

Tempat itu ramai benar. Lampu-lampu kecil warna-warni berkelip-kelip lucu. Penuh keceriaan. Kawan-kawannya tertawa, terbahak gara-gara candaan yang membuatku tersenyum kecil. Kulihat wajahnya. Senyumnya lebar, pipinya yang menggemaskan merona kemerahan. Entah karena tertawa terlalu lepas, entah gara-gara udara yang hangat. Rambutnya bergetar, terguncang seiring gerakan bahunya. Aku sungguh menyukai cara ia tertawa.

Diletakkannya kepalanya dipundakku. Lenganku dirangkulnya. Hangat. Otomatis, kawan-kawannya pun menyuiti, menyoraki tingkahnya yang mesra. Aku tersenyum lagi, bisa kurasakan pipiku ikut merona. Kupingku terasa panas karena sungkan. Dan gadisku tak sedikitpun terganggu oleh kawan-kawannya. Ia menenggelamkan wajahnya dilenganku, menghirup napas dalam-dalam. Dulu, ketika aku bertanya mengapa ia melakukan itu, gadisku menjawab:”Aku sungguh menyukai aromamu.”

Kubelai rambutnya, halus selalu, seperti biasanya. Kusentuh hidungnya, mungil menyenangkan, masih sulit ditolak. Gadis itu tersenyum, menggigit bahuku dengan sayang. Ia tak peduli dengan lingkungan, tak peduli pada kawan-kawannya. Lalu ia mengajakku pulang. Aku mengangguk, ia berpamitan pada semuanya. Disambut dengan beberapa desahan kecewa, maklum malam belum terlalu larut. Ia tertawa kecil, lalu melambai memberian salam perpisahan. Ia berbisik di telingaku:”Aku selalu lebih menyukai menghabiskan waktu bersamamu.”

Di dalam mobil, ia mengecup pipiku. Dia bilang:”Aku menyayangimu, dan akan selalu begitu.”

Kugenggam tangannya, kuletakkan didadaku. Kurentangkan tangan, kudekap ia erat. Seperti biasanya, ia menenggelamkan wajahnya di dekat leherku. Kudekatkan mulutku ketelinganya. Kutarik napas dalam. Lalu semuanya menjadi begitu cepat, menjadi begitu berat. Aku takut. Aku tak berani. Kalau boleh kukatakan bahwa aku seorang pengecut, maka ya, aku memang pengecut.

“Aku berubah, tak lagi seperti dulu. Kupikir, kita harus putus. Aku ingin membatalkan pertunangan kita.”

-hampir dua tahun yang lalu, salah satu saat paling berat dalam hidupku-

Tidak ada komentar: