Hidup sama persis seperti tuts pada piano. Bahkan tuts yang hitam, bila dimainkan dengan tepat, akan menghasilkan musik

Selasa, 26 April 2011

127 Hours





















Bayangin kamu terjepit di dalam celah yang lebarnya kurang dari dua meter dengan hanya berbekal sepotong sandiwch dan sebotol air minum. Bagian mengerikannya, kamu cuma dapat kehangatan sinar matahari selama lima belas menit. Lebih mengerikan lagi, nggak ada yang tahu kamu dimana, pergi kemana dari jam berapa.


Bayangin kamu jatuh ke dalam celah di tengah gurun, tanganmu remuk karena tertimpa batu sebesar tiga kali ukuran kepala Bagian mengerikannya, semakin kamu meronta dan berusaha melepaskan batu itu, semakin kuat dan rapat himpitannya pada tanganmu. Lebih buruk lagi, kamu harus menahan rasa tidak nyaman dan terpaksa tidur dengan tangan yang mati karena tidak mendapat pasokan darah.

Bayangin aja kamu kehausan dan terpaksa minum kencingmu sendiri karena persediaan air sudah habis, semut-semut mulai ngerubungin badanmu karena ngira kamu sebentar lagi mau mati. Bagian mengerikannya, kamu mulai memperhitungkan kalau kamu bakalan mati karena kelaparan dan dehidrasi. Lebih buruk lagi, kamu hampir yakin kalau nggak bakalan ada orang yang bisa nolongin dirimu.

Aku gemetar hebat setelah nonton film ini.
Intro yang mengagumkan.
Aron Ralston bener-bener ngajarin aku dengan cara yang mengerikan kalau kita nggak tahu seberapa berharga apa yang udah kita miliki sebelum benda itu hilang. Aku jatuh cinta sama hujan halusinasi yang menjadikan semua adegan di dalam film ini begitu mendebarkan.
Sinematografinya berhasil bikin aku ngakak setelah berkaca-kaca. Kupikir aku jatuh cinta juga sama musik dan plot yang berkali-kali berhasil bikin aku bingung antara harus ngerasa seneng atau sedih.
Plus, ending yang memuaskan.

Agak basi memang, tapi bener juga kata orang,
Kita baru bisa benar-benar ngelihat kehidupan ketika sedang menghadapi kematian.

Rabu, 20 April 2011

Ya

"Ya", Kawan, adalah kata yang menggoda

Satu suku kata sederhana
Tak ragu, tak pula bimbang
Satu bunyi yang pasti
Elok tak terbantahkan

"Ya", Kawan, adalah kata yang melenakan

Dan ia, telah mengatakannya


-ditulis jam lima sore, dengan tangan yang bergetar-

Kamis, 14 April 2011

Seperti Ilusionis Terkenal

Dulu aku pernah berharap untuk bisa seperti Deddy Corbuzier

Punya kemampuan untuk mendengarkan apa yang orang lain pikirkan

Bisa tahu semua kalimat yang akan mereka katakan

Mengantisipasi semua hal yang dapat orang-orang lakukan

Membuat mereka berdecak, kagum tak keruan-keruan

Hebat karena sesuatu yang tak terkatakan

Bukankah itu kemampuan yang hebat?

Tapi Tuhan nggak pernah ngasih aku bakat itu

Yang dia kasih cuma telinga

Jelas bukan karena dia pelit, bukan juga gara-gara kepengen hidupku sulit

Dia cuma ngasih telinga, supaya aku mendengarkan dengan ikhlas

Setiap kata yang ada, setiap suara yang tercipta

Supaya aku tetap bisa merasakan berbagai macam hal dengan cara yang sederhana

Supaya aku bisa dengar suaramu

Supaya aku tahu apa yang kamu inginkan, apa yang kamu katakan

Supaya aku bisa dengar semua kisahmu

Supaya aku tahu apa yang kamu impikan, apa yang kamu harapkan

Supaya aku, dengan cara yang mudah dijelaskan,

Bisa jadi seperti yang kamu inginkan

Jadi, Sayang, mulailah bercerita

-Ditulis jam dua malam, setelah jalan-jalan insomnia yang melelahkan-

Senin, 11 April 2011

My April

April.
Elok benar ia di mulutku, juga dikulitku. Aku jatuh cinta pada angin dan gerimis di bulan ini: berhembus perlahan, merintik dengan tenang. Aku menyukai fakta bahwa birthstone untuk bulan ini adalah Intan: substansi terkeras, terkuat dan terindah di alam. Inevitably strong.
Sungguh April adalah bulan yang paling kusukai. Pagi dimulai dengan mentari yang tak panas juga tak dingin. Siang menyambut dengan langit dan rayuan mendungnya. Sorenya, bila gerimis tak sedang bermain, maka matahari tenggelamnya akan sangat indah, jingga kemerahan atau ungu kebiruan. Biru langitnya begitu menggoda.

Bulan ini, April yang hujannya bermain rinai, menyambut kelahiranku.